Dahulu kala, warga desa Ngebel terkejut melihat seekor ular yang sangat besar. Karena takut ular itu akan menyerang mereka, warga desa beramai-ramai menangkap ular yang bernama Baru Klinting itu. Setelah tertangkap ular itu dibunuh dan dagingnya disantap dalam sebuah pesta. Hanya satu warga desa yang tidak mereka ajak menikmati pesta itu, yaitu seorang nenek tua miskin bernama Nyai Latung.
Beberapa hari kemudian muncul seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun. Ia tampak kumal dan tidak terawat, bahkan kulitnya pun ditumbuhi penyakit. Anak itu mendatangi setiap rumah dan meminta makanan kepada warga desa. Namun tak seorang pun memberinya makanan atau air minum. Mereka malah mengusirnya dan mencaci makinya.
Akhirnya ia tiba di rumah yang terakhir, rumah Nyai Latung. Di depan rumah reot itu Nyai Latung sedang menumbuk padi dengan lesung.
“Nenek,” kata anak itu, “Saya haus. Boleh minta air, nek?”
Nenek Latung mengambil segelas air yang diminum anak itu dengan lahap. Nyai Latung memandangi anak itu dengan iba.
“Mau air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma punya nasi, tidak ada lauk.”
“Mau, nek. Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu.
Nenek segera mengambilkan nasi dan sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk anak itu, Anak itu makan dengan lahap, hingga tidak sebutir nasipun tersisa.
“Siapa namamu, nak? Di mana ayah ibumu?”
“Namaku Baru Klinting. Ayah dan ibu sudah tiada.”
“Kau tinggal saja di sini menemani nenek,”
“Terima kasih, nek. Tapi saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, nek. Hanya nenek saja yang baik hati kepadaku.”
Baru Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah kepadanya. Kemudian, ia pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung.
Meskipun tidak mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja.
Baru Klinting masuk ke desa lagi. Ia mendatangi anak-anak yang sedang bermain. Ia mengambil sebatang lidi lalu menancapkannya di tanah. Lalu ia memanggil anak-anak.
“Ayo... siapa yang bisa mencabut lidi ini?”
Anak-anak mengejek Baru Klinting namun ketika satu per satu mereka mencoba mencabut lidi, tak ada yang berhasil. Mereka pun memanggil anak-anak yang lebih besar. Semua mencoba, semua gagal. Orang-orang dewasa pun berkumpul dan mencoba mencabut lidi. Tetap tidak ada yang berhasil.
Akhirnya Baru Klinting sendiri yang mencabut sendiri lidi itu. Dari lubang di tanah bekas menancapnya lidi memancar air yang makin lama makin banyak dan makin deras. Orang-orang berlarian kalang kabut, Salah seorang membunyikan kentongan sebagai tanda bahaya. Namun air cepat menjadi banjir dan menenggelamkan seluruh desa.
Nyai Latung mendengar bunyi kentongan di kejauhan, Ia teringat pesan Baru Klinting dan segera naik ke atas lesung. Baru ia duduk di dalam lesung, air sudah datang dan makin tinggi. Lesung itu terapung-apung. Nyai Latung melihat para tetangganya sudah mati tenggelam.
Air tidak seluruhnya kering kembali namun meninggalkan genangan luas berbentuk danau yang sekarang disebut Rawa Pening. Rawa Pening terletak di daerah Ambarawa.
Rawa Pening luasnya 2670 hektare. Sekarang digunakan untuk pengairan dan budi daya ikan selain juga menjadi tempat wisata. Enceng gondok yang memenuhi permukaannya digunakan untuk bahan kerajinan dan keperluan lain. Sedangkan air sungai Tuntang yang berhulu di danau itu digunakan untuk pembangkit listrik. Namun sekarang Rawa Pening mengalami pendangkalan dan dikhawatirkan lambat laun akan lenyap bila tetap dibiarkan seperti saat ini.
Jika Anda menyukai Legenda Rawa Pening, Anda bisa membagikannya ke Twitter, Facebook, Google+, Pinterest atau ke situs lainnya (tentunya menyertakan link balik ke Direktori Cerita.
Beberapa hari kemudian muncul seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun. Ia tampak kumal dan tidak terawat, bahkan kulitnya pun ditumbuhi penyakit. Anak itu mendatangi setiap rumah dan meminta makanan kepada warga desa. Namun tak seorang pun memberinya makanan atau air minum. Mereka malah mengusirnya dan mencaci makinya.
Akhirnya ia tiba di rumah yang terakhir, rumah Nyai Latung. Di depan rumah reot itu Nyai Latung sedang menumbuk padi dengan lesung.
“Nenek,” kata anak itu, “Saya haus. Boleh minta air, nek?”
Nenek Latung mengambil segelas air yang diminum anak itu dengan lahap. Nyai Latung memandangi anak itu dengan iba.
“Mau air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma punya nasi, tidak ada lauk.”
“Mau, nek. Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu.
Nenek segera mengambilkan nasi dan sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk anak itu, Anak itu makan dengan lahap, hingga tidak sebutir nasipun tersisa.
“Siapa namamu, nak? Di mana ayah ibumu?”
“Namaku Baru Klinting. Ayah dan ibu sudah tiada.”
“Kau tinggal saja di sini menemani nenek,”
“Terima kasih, nek. Tapi saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, nek. Hanya nenek saja yang baik hati kepadaku.”
Baru Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah kepadanya. Kemudian, ia pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung.
“Nek, nanti jika nenek mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas lesung. Nenek akan selamat.”
Meskipun tidak mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja.
Baru Klinting masuk ke desa lagi. Ia mendatangi anak-anak yang sedang bermain. Ia mengambil sebatang lidi lalu menancapkannya di tanah. Lalu ia memanggil anak-anak.
“Ayo... siapa yang bisa mencabut lidi ini?”
Anak-anak mengejek Baru Klinting namun ketika satu per satu mereka mencoba mencabut lidi, tak ada yang berhasil. Mereka pun memanggil anak-anak yang lebih besar. Semua mencoba, semua gagal. Orang-orang dewasa pun berkumpul dan mencoba mencabut lidi. Tetap tidak ada yang berhasil.
Akhirnya Baru Klinting sendiri yang mencabut sendiri lidi itu. Dari lubang di tanah bekas menancapnya lidi memancar air yang makin lama makin banyak dan makin deras. Orang-orang berlarian kalang kabut, Salah seorang membunyikan kentongan sebagai tanda bahaya. Namun air cepat menjadi banjir dan menenggelamkan seluruh desa.
Nyai Latung mendengar bunyi kentongan di kejauhan, Ia teringat pesan Baru Klinting dan segera naik ke atas lesung. Baru ia duduk di dalam lesung, air sudah datang dan makin tinggi. Lesung itu terapung-apung. Nyai Latung melihat para tetangganya sudah mati tenggelam.
Setelah beberapa lama, air berhenti naik dan perlahan-lahan mulai surut. Lesung Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Hanya ia yang selamat dari banjir. Warga desa yang lain semuanya tewas.
Air tidak seluruhnya kering kembali namun meninggalkan genangan luas berbentuk danau yang sekarang disebut Rawa Pening. Rawa Pening terletak di daerah Ambarawa.
Rawa Pening luasnya 2670 hektare. Sekarang digunakan untuk pengairan dan budi daya ikan selain juga menjadi tempat wisata. Enceng gondok yang memenuhi permukaannya digunakan untuk bahan kerajinan dan keperluan lain. Sedangkan air sungai Tuntang yang berhulu di danau itu digunakan untuk pembangkit listrik. Namun sekarang Rawa Pening mengalami pendangkalan dan dikhawatirkan lambat laun akan lenyap bila tetap dibiarkan seperti saat ini.
***
Jika Anda menyukai Legenda Rawa Pening, Anda bisa membagikannya ke Twitter, Facebook, Google+, Pinterest atau ke situs lainnya (tentunya menyertakan link balik ke Direktori Cerita.